Penuntutan Direksi Setelah Acquit Et De Charge Menurut KUHP Baru, Bisakah?

Mar 19, 2024

Direksi menurut Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas sebagaimana diubah oleh Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (“UU PT”) didefinisikan sebagai organ perseroan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan perseroan untuk kepentingan perseroan, sesuai dengan maksud dan tujuan perseroan serta mewakili perseroan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar. Terkait jabatannya, direksi diangkat dan diberhentikan dalam organ perseroan yaitu Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Sebelum diberhentikan, direksi akan dimintai pertanggungjawaban atas kepengurusannya terhadap korporasi selama periode menjabat dengan mengacu pada Pasal 97, 100, dan 101 UU PT. Hal ini untuk menentukan bahwa direksi telah menjalankan tugas dan kewajiban sejalan dengan fiduciary duties yang menurut Black’s Law Dictionary didefinisikan sebagai “a duty to act with the highest degree of honesty and loyalty toward another person and in the best interests of the other person (such as duty that one partner owes to another).” Setelahnya, direksi akan mendapatkan acquit a de charge atau bebas dari segala tanggung jawab selama periode menjabat yang diberikan oleh Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”).

Permasalahan muncul ketika direksi dimintai pertanggungjawaban pidana melampaui masa menjabat sebagai direksi. Lantas, dapatkah direksi dilakukan penuntutan setelah direksi diberikan acquit et de charge oleh RUPS?

Pada saat ini, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berlaku adalah Wetboek Van Strafrecht (“KUHP Lama”). Namun, dengan diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP Baru”) yang akan berlaku efektif tahun 2026 menjadi babak baru bagi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia mengingat terdapat beberapa perubahan penting dalam KUHP Baru, termasuk perluasan subjek tindak pidana yang saat ini mencakup korporasi.

Pada KUHP Lama, gugurnya kewenangan penuntutan diatur dalam Pasal 78 KUHP Lama. Menurut pasal tersebut kewenangan penuntutan dapat hapus karena daluwarsa:

  1. mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan sesudah satu tahun;
  2. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;
  3. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun;
  4. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun.

Sedangkan menurut KUHP Baru, gugurnya kewenangan penuntutan diatur pada Bab IV KUHP Pasal 132 KUHP yaitu kewenangan penuntutan dianggap gugur apabila:

  1. ada putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap setiap orang atas perkara yang sama;
  2. tersangka atau terdakwa meninggal dunia;
  3. kedaluwarsa;
  4. maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori ii;
  5. maksimum pidana denda kategori iv dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama i (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori iii;
  6. ditariknya pengaduan bagi tindak pidana aduan;
  7. telah ada penyelesaian di luar proses peradilan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang; atau
  8. diberikannya amnesti atau abolisi.

Adapun selanjutnya pada Pasal 136 ayat (1) KUHP dijelaskan bahwa kewenangan penuntutan dinyatakan gugur karena kedaluwarsa apabila:

  1. setelah melampaui waktu 3 (tiga) tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/ atau hanya denda paling banyak kategori iii;
  2. setelah melampaui waktu 6 (enam) tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di atas 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun;
  3. setelah melampaui waktu 12 (dua belas) tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di atas 3 (tiga) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun;
  4. setelah melampaui waktu 18 (delapan belas) tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara di atas 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun; dan
  5. setelah melampaui waktu 20 (dua puluh) tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, atau pidana mati.

Berdasarkan KUHP Baru dan KUHP Lama, walaupun telah diberikannya acquit et de charge tidak termasuk dalam kriteria yang menggugurkan kewenangan penuntutan serta tidak termasuk dalam penjelasan mengenai kedaluwarsa.

Berdasarkan asas lex specialis derogat legi generali, UU Tipikor yang tidak mengatur secara spesifik penghitungan kedaluwarsa sehingga sebelum KUHP Baru berlaku efektif penghitungan kedaluwarsa tindak pidana korupsi selama ini dikembalikan pada KUHP Lama. Namun, mengingat telah diundangkannya KUHP Baru serta tindak pidana korupsi dimasukkan dalam tindak pidana khusus pada Pasal 603 sampai dengan Pasal 606 KUHP Baru, maka tindak pidana korupsi turut tunduk terhadap KUHP Baru sehingga penghitungan kedaluwarsa tindak pidana korupsi setelah KUHP Baru berlaku efektif secara otomatis merujuk pada KUHP Baru.

Sebagai contoh, pada kasus Richard Joost Lino, mantan direksi pada PT Pelindo II (Persero) pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 5124 K/Pid.Sus/2022 dan Karen Agustiawan, direksi pada PT Pertamina (Persero) pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 121 K/Pid.Sus/2020. Namun, keduanya menjalani proses penuntutan atas tindak pidana korupsi bertahun-tahun setelah keduanya diberikan acquit et de charge oleh RUPS masing-masing perusahaan yang dipimpin. Hal ini menunjukkan bahwa baik secara teoritis dan praktis, pemberian acquit et de charge tidak melepaskan direksi dari penuntutan pidana yang dilakukan saat menjabat dalam wewenangnya. Serta, dalam penuntutannya kini dapat pula mencakup korporasi sebagai subjek tindak pidana. (AAJ/RIM)

Should you have further queries on this topic, please do not hesitate to contact Aldi Andhika Jusut at aldi.jusuf@kk-advocates.com.

Avatar

K&K Advocates