Apr 19, 2021
Masyarakat Ekonomi ASEAN (“MEA”) merupakan
salah satu pilar dari kesepakatan pembentukan Komunitas ASEAN. Sebagai suatu bentuk entitas ekonomi terpadi
di Asia Tenggara, MEA memiliki tujuan untuk menciptakan pasar tunggal dan basis
produksi yang ditandai dengan bebasnya aliran barang, jasa, investasi dan
perpindahan modal secara lebih bebas.
Sebagai dampak dari bebasnya kegiatan perniagaan di Kawasan ASEAN,
aktifitas bisnis seperti penanaman modal dan kegiatan perniagaan lainnya seringkali
dilakukan secara lintas negara. Adanya transaksi bisnis internasional ini
secara tidak langsung memberikan kemudahan bagi para pelaku usaha dalam
menjalankan usahanya, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Hanya saja, pelaksanaan transaksi bisnis
internasional tersebut tidak dapat terlepas dari adanya
permasalahan-permasalahan hukum yang mungkin timbul, yaitu seperti kepailitan.
Dalam hal berlangsungnya perdagangan transnasional,
apabila suatu bisnis dalam perdagangan tersebut mengalami kegagalan, maka dapat
terjadi aset-aset debitur maupun krediturnya berada di berbagai yurisdiksi (multiple
jurisdiction). Kepailitan lintas
batas atau cross border insolvency dapat terjadi apabila permasalahan
kepailitan tersebut mengandung unsur asing di dalamnya. Pada dasarnya, kepailitan lintas batas negara
terjadi apabila aset atau utang seorang debitur terletak di lebih dari satu
negara, atau apabila debitur termasuk jurisdiksi pengadilan di dua atau lebih
negara.
Pengaturan mengenai kepailitan lintas batas dapat
dilihat dalam beberapa regulasi regional dan internasional, yaitu seperti the
European Community Regulation Insolvency Proceedings yang berlaku di Uni
Eropa serta the United Nations Commission on International Trade Law (“UNCITRAL”)
Model Law on Cross-Border Insolvency yang didesain untuk membantu
negara-negara untuk melengkapi hukum kepailitan di negara masing-masing agar
lebih efektif dalam menangani perkara kepailitan lintas batas. Di Indonesia sendiri, kepailitan diatur dalam
Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban
Pembayaran Hutang (“UU 37/2004”).
Hanya saja, UU 37/2014 tersebut belum mengatur mengenai mekanisme
ataupun prosedur kepailitan lintas batas.
Pasal 212 UU 37/2004 menyatakan bahwa kreditor yang
setelah putusan pernyataan pailit diucapkan, mengambil pelunasan seluruh atau
sebagian dari benda yang termasuk harta pailit yang terletak di luar wilayah
negara Republik Indonesia, yang diberikan kepadanya dengan hak untuk
didahulukan, wajib mengganti kepada harta pailit segala apa yang diperolehnya. Hal ini memperlihatkan bahwa UU 37/2004
mengenal harta pailit yang berada di luar wilayah Indonesia. Namun, secara prakteknya, melakukan sita umum
atau eksekusi atas harta yang berada di luar wilayah Indonesia tidak
mengikat.
Hal ini dikarenakan
Indonesia menganut asas teritorialitas, yaitu asas yang membatasi putusan
pailit hanya mengenai bagian-bagian harta benda yang terletak di dalam wilayah
negara tempat putusan tersebut ditetapkan.
Dengan demikian, dampak dari dianutnya asas ini adalah pelaksanaan dan/atau eksekusi harta pailit berdasarkan
putusan pailit yang diputus diluar yurisdiksi Indonesia tidak dapat
dilaksanakan di wilayah yurisdiksi Indonesia, maupun sebaliknya.
Terdapat beberapa langkah
yang dapat diterapkan oleh Indonesia untuk menerapkan kepailitan lintas batas
negara. Salah satunya adalah dengan
membuat perjanjian bilateral antara Indonesia
dengan negara lainnya. Perjanjian
bilateral ini akan mengatur untuk memfasilitasi kerjasama dan koordinasi yang bersifat lintas
batas untuk mengeksekusi putusan pailit serta budel pailit. Dengan
dilakukannya perjanjian bilateral ini, maka kedua negara tersebut dapat melakukan kerjasama serta
pengakuan terhadap putusan pailit yang diputus di salah satu negara tersebut
untuk dieksekusi di negara lain. Perjanjian ini pun akan berlandaskan asas
resiprositas yang mana dalam hal suatu perusahaan pailit di likuidasi di negara tempat perusahaan
tersebut berlokasi, maka efek atau akibat hukum atas likuidasi perusahaan di
wilayah hukum negara yang satu dapat berlaku di wilayah negara yang lain.
Selain itu, mengingat
kepailitan lintas batas negara belum menjadi norma hukum bisnis di Indonesia,
maka Indonesia dapat melakukan perubahan atas UU 37/2004 untuk mencakup
kepailitan lintas batas negara. Hal ini dapat dilakukan dengan mengadopsi UNCITRAL Model
Law on
Cross-Border Insolvency. Namun, perlu dicatat bahwa agar eksekusi atas
harta pailit dan putusan kepailitan tersebut dapat diakui oleh Indonesia dan
negara lainnya, maka Indonesia tetap diperlukan untuk membentuk suat perjanjian
bilateral dengan negara lain. (aaj/rid)
Untuk informasi lebih lanjut lagi terkait Pasar Modal di atas dapat menghubungi Sdr. Aldi Andhika Jusuf di email [email protected].
(Tulisan di atas adalah merupakan
artikel dan tidak dapat dianggap sebagai advis atau opini hukum dari penulis
dan/atau kantor hukum K&K Advocates).
*****