Jun 17, 2025
Artikel ini pertama kali dipublikasikan di Hukumonline pada 05 Mei 2025 dan dimuat ulang di sini dengan izin.
Jika didapati adanya tindakan-tindakan penambahan biaya surcharge atas penggunaan sistem pembayaran non tunai, maka konsumen dapat melaporkan penyedia barang dan/atau jasa atas tindakannya tersebut kepada PJP secara langsung agar PJP dapat memberikan sanksi kepada penyedia barang dan/atau jasa.
Dalam keseharian di era generasi beta saat ini, terdapat beberapa metode sistem pembayaran yang dapat kita pilih sebagai konsumen. Salah satunya sistem pembayaran dengan metode non tunai. Secara umum, dalam peraturan perundang-undangan, pembayaran non tunai didefinisikan sebagai sistem pembayaran yang tidak menggunakan uang tunai (uang kertas dan logam) sebagai alat pembayaran, melainkan menggunakan alat pembayaran lain seperti kartu (APMK), cek, bilyet, giro, nota debet, atau uang elektronik.
Dalam artikel kali ini yang akan kita bahas adalah metode pembayaran non tunai yang banyak menjadi pilihan masyarakat Indonesia dan dunia. Mengutip situs Kemenkeu, di tahun 2019, Bank Indonesia mencatat nilai transaksi non tunai (cashless) mencapai Rp 128 triliun, meningkat hingga lima kali lipat dibanding tahun 2014 sebesar Rp 3,3 triliun
Dengan kemudahan akses perdagangan barang/jasa serta perkembangan dunia global, yang saat ini bergerak semakin cepat, membuat proses perdagangan barang dan/atau jasa melewati batas teritorial suatu wilayah daerah bahkan suatu negara. Dengan penggunaan sistem pembayaran non tunai yang semakin masif seperti ini, menimbulkan pertanyaan apakah pembayaran non tunai ini sepenuhnya menguntungkan kita sebagai konsumen dalam proses perdagangan, atau memberikan beban biaya baru kepada para konsumen. Mengingat teknologi dan proses yang digunakan dan dilewati oleh sistem pembayaran non tunai ini, membutuhkan rangkaian proses pembayaran dari konsumen hingga pembayaran diterima sepenuhnya ditangan produsen dan/atau penjual barang dan/atau jasa.
Sesungguhnya kita sebagai konsumen memiliki hak memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan para pelaku usaha (Pasal 4 ayat (2) huruf b Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen). Dengan timbulnya hak konsumen tersebut, pelaku usaha memiliki kewajiban memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan (Pasal 7 huruf (b) UU Perlindungan Konsumen).
Seperti diketahui bersama pengertian sistem pembayaran adalah seperangkat aturan, lembaga, dan mekanisme, yang digunakan untuk melaksanakan pemindahan dana guna memenuhi suatu kewajiban yang timbul dari suatu kegiatan ekonomi. Hak kita sebagai konsumen mendapatkan produk dan/atau layanan sesuai dengan penawaran yang dijanjikan dan/atau sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan (POJK Nomor 22 Tahun 2023 Tentang Pelindungan Konsumen dan Masyarakat di Sektor Jasa Keuangan).
Hal ini sejalan dengan Pasal 52 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 23/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik (PBI 23/2018) yang menyebutkan; “Penyedia Barang dan/atau Jasa dilarang mengenakan biaya tambahan (surcharge) kepada Pengguna atas biaya yang dikenakan oleh PJP kepada penyedia barang dan/atau jasa”. Terkait dengan skema biaya yang dibebankan oleh Penyedia Jasa Pembayaran (PJP) kepada penyedia barang dan/atau jasa dan/atau pihak terkait lainnya ditetapkan oleh BI.
Menurut Pasal 54 ayat (2) PBI 23/2018, BI menetapkan skema biaya dalam penyelenggaraan sistem pembayaran di Indonesia yang hanya melibatkan pihak-pihak sebagai berikut: (a) PJP kepada pengguna jasa; (b) PJP kepada penyedia barang dan/atau jasa; (c) antar PJP, PIP dan/atau pihak terkait lainnya. Dalam kaitannya dengan dunia perdagangan sehari-hari antara konsumen dan penyedia barang dan/atau jasa sebagaimana dijelaskan pada PBI 23/2018 BI tersebut, seharusnya biaya surcharge yang dibebankan PJP sudah sepatutnya dibebankan sepenuhnya kepada penyedia barang dan/atau jasa dan tidak diperbolehkan untuk dialihkan kepada konsumen.
Walaupun telah diatur secara jelas hak konsumen sebagaimana tersebut pada aturan-aturan diatas, faktanya di lapangan yang minim pengawasan, masih ditemui adanya penyedia barang dan/atau jasa “nakal” yang tidak mematuhi aturan tersebut. Bahkan beberapa penyedia barang dan/atau jasa kerap secara terang-terangan membebankan biaya tambahan surcharge kepada pengguna barang dan/atau jasa dengan beragam alasan, seperti: alasan karena proses pembayaran tersebut melewati PJP dalam satu rangkaian proses yang berkaitan seperti biaya administrasi kartu kredit, karena biaya administrasi tambahan saat transaksi gesek kartu kredit berbeda mesin EDC, dan lain sebagainya.
Apabila dikaitkan antara aturan perundang-undangan yang berlaku dengan fakta yang terdapat di lapangan telah jelas kiranya bahwa tindakan penyedia barang dan/atau jasa tersebut terbukti telah menyalahi peraturan perundang undangan yang berlaku karena tindakan tersebut dianggap sebagai perlakuan diskriminatif penyedia barang dan/atau jasa kepada konsumen. Sebab, sejatinya konsumen memiliki hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan (Pasal 4 ayat (2) huruf b UU Perlindungan Konsumen) tanpa adanya penambahan biaya surcharge.
Jika didapati adanya tindakan-tindakan penambahan biaya surcharge atas penggunaan sistem pembayaran non tunai, maka konsumen dapat melaporkan penyedia barang dan/atau jasa atas tindakannya tersebut kepada PJP secara langsung agar PJP dapat memberikan sanksi kepada penyedia barang dan/atau jasa berupa penghentian kerja sama dengan penyedia barang dan/atau jasa yang telah melakukan tindakan yang dapat merugikan dan/atau tidak sesuai peruntukan dalam pemrosesan transaksi pembayaran secara non tunai tersebut (Pasal 51 ayat (2) PBI 23/6/2021).